Kereta Perang yang Menyala-nyala dari Langit

Kira-kira pada awal abad ini terjadi suatu penemuan yang menggemparkan, yakni penemuan lembaran-lembaran hikayat terbuat dari tanah liat, yang memuat sanjak kepahlawanan yang sangat ekspresif. Benda-benda itu milik perpustakaan Raja Asria, Ashurbanipal. Sanjak itu ditulis dalam bahasa Akadia. Setelah itu ditemukan lagi salinan keduanya yang berasal dari raja Murabi.

Telah terbukti dengan nyata bahwa versi asli dari sanjak kepahlawanan Gilgamesh itu berasal dari bangsa Sumeria, suatu bangsa yang asal-usulnya tidak dikenal, tetapi pernah meninggalkan bilangan yang terdiri dari lima belas angka itu dan astronomi yang sudah maju. Jelas juga kiranya bahwa garis besar dari sanjak kepahlawanan Gilgamesh itu sejajar dengan kitab Injil tentang Kejadian. Lembaran hikayat pertama yang ditemukan di Kuyunjik ada hubungannya dengan pembangunan tembok sekeliling Uruk oleh pahlawan Gilgamesh.

Lembaran hikayat itu dapat dibaca bahwa “Dewa dari Sorga” hidup dalam istana negara yang mempunyai banyak lumbung dan bahwa pengawal istana berjaga-jaga di atas tembok itu. Dari hikayat itu dapat diketahui pula bahwa Gilgamesh adalah balatentara yang tubuhnya dua pertiga dewa dan sepertiga manusia. Para pengarak yang datang ke Uruk dan menatap pada Gilgamesh, menggigil ketakutan karena wajahnya jauh dari tampan dan gagah. Dengan perkataan lain, keterangan pertama dari hikayat itu sekali lagi mengandung gagasan tentang keturunan campuran antara “dewa” dan manusia.

Lembaran kedua dari hikayat itu menceriterakan bahwa seorang tokoh lain, yakni Enkidu telah diciptakan oleh seorang “dewi“ dari sorga bernama Auru. Enkidu diterangkan terperinci sekali dalam hikayat itu. Badannya berbulu lebat, bajunya dari kulit binatang, makanannya rumput dan minumannya air dari tempat minum ternak. Ia suka bersenang-senang di bawah air terjun yang deras. Ketika Gigamesh, raja dari Uruk mendengar tingkahlaku Enkidu yang aneh ini, ia menyarankan supaya Enkidu dikasih wanita cantik agar dia ke luar dari lingkungan ternak. Enkidu yang tak berdosa itu telah terjebak oleh muslihat raja, dan hidup bersama dengan wanita setengah dewi yang cantik jelita selama enam hari enam malam. Sekelumit peristiwa mesum dalam istana ini, menyebabkan kita menduga bahwa perkawinan silang antara makhluk setengah dewa dan makhluk setengah binatang tidaklah menjadi persoalan susila dalam dunia yang biadab ini.

Lembaran ke tiga dari hikayat itu, mengkhabarkan kepada kita tentang adanya awan debu yang datang dari jauh. Sorga meraung-raung, bumi goncang dan akhirnya “dewa matahari” datang dan menyergap Enkidu dengan sayapnya, dan badan Enkidu yang menjadi amat berat itu menggeletak bagaikan batu besar. Demikian yang dapat kita baca.

Sekalipun kita anggap ceritera itu hanya khayalan belaka dari pengarangnya namun hal-hal yang mengherankan masih tetap ada. Bagaimana para pengkisah lama itu mengetahui bahwa Enkidu itu dengan mendadak menjadi berat bagaikan timah?

Sekarang kita mengetahui gaya tarik bumi dan gaya akselerasi kecepatan benda yang jatuh bebas dari atas. Beberapa besar gaya tarik bumi yang menekan badan astronot kepada kursinya pada waktu lepas landas dapat diperhitungkan sebelumnya. Tetapi, bagaimana gagasan ini timbul pada para pengkisah hikayat purbakala?

Lembaran ke lima dari hikayat itu menerangkan bagaimana Gilgamesh dan Enkidu berangkat bersama-sama berkunjung ke tempat bersemayam “para dewa”. Menara tempat kedudukan dewi Irninis dari jauh dapat dilihat bersinar. Anak panah dan peluru yang menghujani Gilgamesh dan Enkidu yang sangat berhati-hati dalam perjalanannya itu, semua tak ada yang membahayakan, semuanya mental. Dan ketika mereka sampai di wilayah “para dewa” terdengar suara menggema: “Kembali ke tempatmu! Tak seorang manusia pun diperkenankan datang ke gunung suci tempat tinggal para dewa, barangsiapa menatap wajah para dewa pasti
mati”.

Pun dalam Exodus (Kitab Keluaran) di Alkitab dapat kita baca “Engkau tidak akan melihat wajahku karena tiada seorang manusia melihat daku dan hidup”.

Lembaran ketujuh melaporkan pengalaman penerbangan Enkidu ke ruang angkasa. Ia dibawa terbang oleh seekor garuda selama empat jam. Ia dibawa terbang dalam cakar garuda. Ia melaporkannya secara harafiah sebagai berikut “Garuda itu berkata kepadaku: ‘Lihatlah ke bawah, ke tanah ! Seperti apa rupanya? Lihatlah ke laut ! Kelihatannya seperti apa?’ Dan tanah bagaikan sebuah gunung dan laut bagaikan sebuah danau. Dan
dia terbang lagi selama empat jam dan berkata kepadaku: ‘Lihatlah ke bawah, ke tanah! Seperti apa rupanya? Lihatlah ke laut. Kelihatannya seperti apa?’Dan bumi seperti kebun dan laut seperti saluran air dari tukang kebun. Dan ia terbang lebih tinggi selama empat jam lagi dan berkata ‘Lihatlah ke bawah, ke tanah. Seperti apa rupa nya? Lihatlah ke laut. Kelihatannya seperti apa?’ Dan tanah kelihatannya seperti bubur dan laut seperti air minum ternak”

Berdasarkan laporan ini pasti ada beberapa makhluk hidup yang pernah melihat bumi dari angkasa, dari ketinggian yang tinggi sekali. Laporan ini, karena begitu tepat, sukar untuk disebut khayalan. Bagaimana orang dapat melaporkan bahwa tanah bagaikan bubur dan laut bagaikan bak air minum ternak, kalau tidak pernah ada gambaran tentang bola dunia dilihat dari ketinggian.

Apabila lembaran hikayat itu juga menceriterakan tentang pintu yang dapat berbicara bagaikan manusia hidup, kita segera akan menyebutnya pengeras suara.

Sedangkan pada lembaran, kedelapan, Enkidu yang telah melihat bumi dari ruang angkasa itu, dilaporkan meninggal dunia secara misterius; sedemikian misteriusnya sehingga Gilgamesh menduga bahwa Enkidu telah dihantam oleh hembusan beracun binatang buas dari sorga. Tetapi dari mana Gilgamesh tahu bahwa hembusan beracun dari binatang buas sorga itu dapat menyebabkan penyakit yang fatal dan tak tersembuhkan?

Lembaran ke sembilan dari hikayat itu melukiskan duka cita Gilgamesh. Ia berniat mengadakan perjalanan jauh untuk menemui para dewa, karena ia selalu digoda oleh pikiran bahwa ia pun mungkin akan mati karena penyakit yang sama, seperti yang diderita oleh Enkidu. Lukisan itu menjelaskan bahwa Gilgamesh mendatangi dua buah gunung yang menopang sorga dan merupakan gerbang ke matahari. Di pintu gerbang ini ia bertemu dengan dua raksasa, dan setelah lama berunding dengan mereka, ia diizinkan masuk; karena ia sendiri sebenarnya dua pertiga dewa. Akhirnya Gilgamesh dapat menemukan taman para dewa, yang dikelilingi oleh lautan luas tanpa batas.

Ketika Gilgamesh masih dalam perjalanan, para dewa memperingatkannya dua kali: “Gilgamesh, hendak ke mana engkau bergegas? Engkau tidak akan menemukan kehidupan yang kau cari. Ketika para dewa menciptakan manusia, mereka sudah menentukan kematiannya. Tetapi nyawa yang ia miliki ada dalam pemeliharaan para dewa”.

Tetapi Gilgamesh tidak mau diperingatkan, ia ingin bertemu dengan Utnapishtin bapak dari segenap manusia, tak perduli apapun bahaya yang akan mengancam. Namun Utnapishtin hidup di seberang laut luas tanpa batas; tak ada jalan menuju ke sana, tak ada kapal yang terbang melintasi laut itu, kecuali kapal milik dewa matahari. Gilgamesh memberanikan diri menantang segala bahaya dan menyeberangi lautan luas itu. Maka bertemulah ia dengan Utnapishtin. Pertemuan itu diuraikan dalam lembaran ke sebelas.

Gilgamesh berpendapat bahwa bapak segenap manusia itu tubuhnya sama besar dan sama tinggi dengan tubuhnya sendiri. Ia mengatakan bahwa ia dengan Utnapishtin bagaikan ayah dan anak kandung. Kemudian Utnapishtin menceriterakan riwayat hidupnya sendiri. Sungguh aneh, ia menceriterakannya kepada manusia pertama. Lebih mengherankan lagi ialah uraian yang mendetail tentang banjir besar itu: Utnapisthin menceriterakan kembali bahwa “para dewa” telah memperingatkannya akan adanya air bah besar itu, dan memerintahkan nya untuk membuat kapal bahtera, untuk menyelamatkan wanita dan anak-anak, keluarganya sendiri, dan para pengrajin dari segala bidang. Uraiannya tentang badai yang dahsyat, tentang kegelapan, tentang air bah yang terus-menerus meningkat dan tentang kesedihan orang-orang yang tidak dapat diselamatkannya.

Kita juga mendengar dari hikayat ini seperti halnya dalam Alkitab tentang nabi Nuh, tentang burung gagak dan burung merpati yang dilepaskan, dan tentang bagaimana akhirnya setelah air surut; kapal itu kandas di atas sebuah gunung.

Kesesuaian antara ceritera tentang banjir besar dalam sanjak kepahlawanan Gilgamesh dan yang diuraikan dalam Injil, tak dapat diragukan, sehingga tak ada seorang sarjanapun yang membuat keterangan tandingan terhadap itu. Yang menarik dari kesesuaian ini ialah bahwa dalam hal ini kita berurusan dengan pertanda atau alamat, dan “Tuhan” atau “dewa” yang berlainan sama sekali. Andaikata keterangan tentang banjir besar itu dalam Alkitab tidak orisinil, maka keterangan yang diuraikan oleh Utnapishtin itu merupakan keterangan dari orang pertama yang selamat dan yang telah mengalami dan melihatnya dengan mata kepalanya sendiri.

Telah dibuktikan dengan jelas sekali bahwa malapetaka banjir besar itu telah terjadi di Timur kuno beberapa ribu tahun yang lalu. Tulisan-tulisan kuno di Babilonia kuno menunjukkan dengan tepat sekali tempat di mana sisa-sisa kapal itu akan dapat ditemukan. Dan ternyata di sebelah Selatan puncak gunung Arafat, para penyelidik telah menemukan tiga potong kayu yang diduga keras dapat menunjukkan tempat di mana kapal bahtera itu dahulu kandas. Amat kebetulan sekali bahwa tempat di mana ditemukan bekas-bekas kapal kayu yang lolos dari amukan air bah lebih 6000 tahun yang lalu itu amat dekat dari tempat yang ditunjuk itu.

Selain dari merupakan laporan tangan pertama, sanjak kepahlawanan Gilgamesh itu memuat uraian tentang hal-hal luar biasa yang tidak mungkin lagi dikarang oleh para cendekiawan dari zaman penulisan sanjak itu, selain yang diciptakan oleh para penterjemah dan para penjiplak yang merusak sanjak itu selama berabad-abad.

Ini terbukti dari adanya fakta-fakta terpendam di antara uraian-uraian yang seharusnya diketahui oleh para penulis sanjak kepahlawanan Gilgamesh dan yang hanya mungkin dapat kita temukan sekarang melihat kecerahan ilmu pengetahun masa sekarang.

Barangkali beberapa pertanyaan baru berikut akan menyinari sedikit kegelapan itu. Apakah mungkin bahwa sanjak kepahlawanan Gilgamesh itu sama sekali bukan berasal dari Timur kuno, melainkan dari daerah Tiahuanaco? Masuk akalkah kalau dikatakan bahwa anak cucu keturunan Gilgamesh berasal dari Amerika Selatan, dan yang membawa pindah sanjak kepahlawanan itu ke Timur kuno? jawaban atas pertanyaan itu paling-paling hanya akan menjelaskan sebutan tentang Gerbang Matahari, tentang penyeberangan laut luas oleh Gilgamesh dan tentang sekonyong-konyong munculnya bangsa Sumeria. pada waktu yang bersamaan dengan adanya Gerbang Matahari itu dan lain sebagainya.

Kita telah sama-sama mengetahui bahwa segala karya cipta dari Babilon yang terjadi kemudian, telah terjadi di zaman bangsa Sumeria itu. Tak dapat diragukan lagi bahwa kebudayaan Mesir yang telah maju dari zaman Fir’aun itu memiliki perpustakaan di mana rahasia-rahasia purbakala itu di pelihara, diajarkan, dipelajari dan dikutip.

Sebagaimana telah disebut di Injil, Nabi Musa dibesarkan dalam istana di Mesir. Ia pasti dapat memasuki ruang perpustakaan yang dimuliakan itu. Nabi Musa adalah orang terpelajar dan terbuka bagi gagasan baru. Dan Memang ia diduga telah menulis lima buku tentang dirinya walaupun sampai sekarang masih merupakan teka-teki yang tak terpecahkan dalam bahasa apakah ia telah menulis buku-buku itu.

Jika karya tentang hipotesa bahwa sanjak ke pahlawanan didatangkan ke Mesir oleh bangsa Sumeria melalui bangsa Assyiria dan bangsa Babilonia; bahwa Nabi Musa itu menemukan di sana, dan kemudian menyadurnya untuk kepentingannya sendiri; maka ceritera tentang banjir besar itu yang dari Sumerialah yang orisinil, bukan yang ada dalam Injil. Tidak patutkah kita mempertanyakan masalah itu?

Metode klasik tentang penyelidikan kepurbakalaan telah macet, dan karena itu tidak dapat sampai kepada kesimpulan yang tak dapat dibantah. Metode itu terlalu terikat kepada pola pemikiran yang stereotype dan tidak memberikan peluang untuk gagasan-gagasan imajinatif dan spekulatif. Padahal hanya gagasan-gagasan dan spekulasi inilah yang dapat menghasilkan gerak yang kreatif. Kebanyakan kesempatan untuk menyelidiki Timur kuno telah tenggelam ke dalam kedudukan Injil yang tak dapat diganggugugat itu.

Orang dahulu kala tidak ada yang berani mengajukan pertanyaan-pertanyaan tentang ini, dan mengatakan keraguannya di depan larangan untuk bertanya itu. Bahkan para cendekiawan dari abad ke sembilanbelas dan kedua puluh yang kelihatannya pura-pura mengetahui kebenaran, pun masih tercekam oleh belenggu-belenggu mental yang telah menyelimuti kesalahan-kesalahan dalam beribu-ribu tahun lamanya ini. Tetapi karena pengusutan kembali timbul, mau tidak mau tentu akan mengundang pertanyaan tentang bagian-bagian dari ceritera dalam Injil.

Tetapi orang Kristen yang paling alim pun pasti telah menyadari bahwa banyak hal-hal yang diuraikan dalam Perjanjian Lama sebenarnya tidak cocok dengan sifat-sifat keagungan, kebesaran dan kehadiran Tuhan di mana-mana. Orang yang memelihara keutuhan dogma-dogma dari Injil harus mempunyai minat untuk menjelaskan siapakah sebenarnya yang mendidik manusia di zaman purbakala, siapa yang mengajarkan norma-norma pertama tentang kehidupan sosial kepada mereka, siapa yang mewariskan undang-undang pertama tentang keberhasilan, siapa yang membinasakan keturunan manusia yang durhaka.

Kalau kita berpikir demikian dan mengajukan pertanyaan semacam ini, tidak berarti bahwa kita tidak beragama. Yakin sekali bahwa kalau pertanyaan terakhir di atas telah terjawab dengan sungguh-sungguh dan meyakinkan, maka ayat yang disebut, Tuhan itu kekal dan abadi sifatnya. Tetapi hipotesa yang menyatakan bahwa Tuhan yang tak dapat dibayangkan bagaimana bentuk dan rupanya itu, memerlukan kendaraan beroda dan bersayap untuk bergerak ke sana ke mari, bersahabat dengan manusia primitif, dan tidak mau melepaskan topengnya; akan tetap merupakan suatu anggapan yang menghina selama hipotesa itu tidak didukung oleh bukti-bukti.

Jawaban dari para akhli teologi bahwa Tuhan itu arif dan bijaksana, dan bahwa kita tidak akan dapat membayangkan dengan cara bagaimana ia memperlihatkan dirinya dan bagaimana ia membuat manusia rendah hati; hanyalah mengelak terhadap pertanyaan kita, dan karenanya tidak memuaskan. Orang juga ingin menutup mata terhadap kenyataan baru. Tetapi hari depan kita dari hari ke hari selalu menggerogoti masa silam kita.

Di masa mendatang yang tidak akan begitu lama lagi, untuk pertamakali manusia akan mendarat di planet Mars. Jika di sana ditemukan bangunan kuno yang telah lama ditinggalkan walau sebuah saja, atau benda yang menunjukkan adanya kecendekiawan di masa lampau, atau satu lukisan pada batu karang yang masih dapat dikenal; maka penemuan ini akan menggoyahkan landasan-landasan agama kita, dan akan membuat masa lampau kita menjadi membingungkan. Satu saja yang ditemukan semacam itu akan menyebabkan revolusi dan reformasi yang paling besar dalam sejarah umat manusia.

Mengingat masa depan yang mau tidak mau harus kita hadapi, apakah tidak lebih baik kalau kita menggunakan gagasan-gagasan baru yang imajinatif dalam menyulap masa silam kita? Tanpa mengurangi kepercayaan kita, kita tidak dapat lebih lama lagi mudah puas. Setiap agama punya konsepsi sendiri-sendiri tentang ketuhanannya; orang terpaksa harus berpikir dan percaya dalam rangka konsepsi agamanya.

Sementara itu bersamaan dengan zaman ruang angkasa, hari kiamat kecendikiaan semakin mendekat. Awan teologi akan menguap bercerai-berai bagaikan gumpalan kabut. Dengan langkah yang menentukan ke dalam alam semesta, kita akan harus mengakui hanya satu Tuhan, satu agama dan satu mashab saja; tidak lagi 2.000.000 dewa, 20.000 mashab, 10 agama-agama besar; tetapi mari kita teruskan pembentukan hipotesa dari masa silam umat manusia yang utopis itu. Inilah gambarannya.

Samar-samar, kira-kira entah berapa abad yang lalu, sebuah kapal ruang angkasa tak dikenal telah menemukan planet kita. Para awak kapal itu segera mengatakan,” Kami ini memiliki persyaratan bagi kehidupan inteligensi yang dapat dikembangkan.” Nyata sekali,bahwa orang di zaman itu bukanlah homo sapiens, melainkan sesuatu yang agak berbeda. Awak kapal itu mengadakan insiminasi buatan terhadap beberapa anggota betina dari jenis “orang” itu, dibuatnya supaya tidur nyenyak, kemudian ditinggalnya.  Demikian menurut dongeng-dongeng kuno.

Beribu-ribu tahun kemudian para wisatawan ruang angkasa datang kembali dan mendapati contoh-contoh dari homo sapiens induk terpencar di sana-sini. Mereka mengulangi experimen pembiakannya beberapa kali lagi sampai akhirnya di hasilkan suatu makhluk hidup yang cukup cerdas untuk menerima norma-norma hidup bermasyarakat. Manusia pada zaman itu masih biadab. Oleh karena ada bahaya bahwa manusia ini akan mundur kemanusiaannya dan lalu bergaul kembali dengan binatang, para wisatawan ruang angkasa itu memusnahkan umat yang gagal atau membawa mereka untuk ditempatkan di benua lain.

Maka sekarang timbullah masyarakat pertama dan ketrampilan-ketrampilan pertama. Permukaan-permukaan batu karang dan dinding-dinding gua digambari, cara pembuatan tembikar ditemukan, dan percobaanpercobaan arsitektur pertama di buat. Manusia pertama ini mempunyai respek yang besar terhadap para wisatawan ruang angkasa. Oleh karena para wisatawan ini datang dari tempat yang tak dikenal, mereka dijadikan dewa. Dengan alasan yang misterius para dewa ini sekarang senang sekali mengajarkan inteligensinya kepada penduduk pribumi. Para dewa ini memelihara keturunannya baik-baik. Mereka ingin melindunginya agar terhindar dari korupsi dan kejahatan-kejahatan lainnya. Mereka ingin supaya masyarakat itu berkembang secara konstruktif. Yang sinting-sinting dimusnahkan sedangkan sisanya diusahakan supaya mendapat persyaratan pokok bagi kemasyarakatan yang akan mampu berkembang.

Tak dapat disangkal, bahwa spekulasi ini masih mempunyai banyak kekurangan-kekurangan. Harus diakui bahwa pembuktiannya tak terdapat sama sekali. Masa depanlah yang akan memperlihatkan bagaimana kekurangan-kekurangan itu dapat dipenuhi. Hal ini menyajikan hipotesa yang terdiri dari spekulasi-spekulasi.

Oleh karena itu hipotesa ini pasti tidak “benar”. Namun demikian kalau dibandingkan hipotesa ini dengan teori-teori yang memungkinkan banyak agama untuk hidup tanpa diganggu-gugat dalam persembunyiannya di balik larangan-larangan, rasanya ingin sekali memberikan suatu persentasi kemungkinan kebenarannya kepada hipotesa ini.

Barangkali ada baiknya kalau diucapkan sepatah dua patah kata tentang kebenaran itu. Setiap orang yang percaya akan agama dan tak pernah mendapat sanggahan dari pihak manapun, akan yakin pada kebenarannya. Hal ini tidak hanya berlaku bagi kaum Nasrani, melainkan berlaku pula bagi penganut-penganut agama lain, baik kecil maupun besar. Para teosophis, teologis, filsuf, semuanya telah mencerminkan ajarannya masing-masing; mereka semuanya yakin bahwa mereka telah menemukan kebenaran.

Tentu saja tiap agama mempunyai sejarah dan janji-janjinya sendiri dari Tuhan. perjanjian-perjanjian sendiri dengan Tuhan. Rasul-rasulnya sendiri dan ulama-ulamanya sendiri yang pernah mengatakan Pembuktian “Kebenaran” selalu dimulai dari tengah agama seseorang dan bekerja ke luar. Hasilnya ialah cara berpikir dengan prasangka, suatu cara yang harus kita terima sejak masa kanak-kanak. Namun demikian generasi penerus terus ada dengan keyakinan bahwa mereka mempunyai kebenaran. Dengan segala kerendahan hati, dinyatakan bahwa kita tak dapat memiliki “kebenaran “. Paling-paling kita hanya percaya akan adanya “kebenaran” Siapa saja yang benar-benar mencari kebenaran tak akan dapat dan selayaknya tidak mencarinya di bawah perlindungan dan dalam batas-batas agamanya sendiri.

Apakah tujuan hidup itu sebenarnya? Untuk mempercayai “kebenaran” atau untuk mencarinya?

Sekalipun misalnya fakta-fakta yang terdapat dalam Perjanjian lama dapat dibuktikan secara arkeologis di Mesopotamia, tetapi fakta-fakta yang telah diperiksa itu belumlah menjadi bukti dari agama yang bersangkutan. Jika dengan penggalian-penggalian ditemukan kota-kota kuno, perkampungan-perkampungan kuno, sumur-sumur bekas, tulisan-tulisan kuno, di daerah tertentu; maka hal itu menunjukkan bahwa rakyat yang pernah hidup di daerah itu adalah suatu fakta nyata. Tetapi penemuan-penemuan itu tidak membuktikan bahwa Tuhan dari rakyat itu adalah satu-satunya Tuhan, dan bukan wisatawan ruang angkasa.

Sekarang penggalian-penggalian di seluruh dunia menunjukkan bahwa tradisi-tradisi cocok dengan fakta-faktanya.

Tetapi apakah mungkin terjadi bahwa seorang Kristen mengakui Tuhan dari kebudayaan pra-Inca sebagai Tuhan asli yang dihasilkan oleh penggalian di Peru? Yang saya maksud adalah sederhana; yaitu bahwa segala sesuatu baik ceritera isapan jempol maupun pengalaman, dapat membentuk sejarah sesuatu bangsa. Tak kurang, tak lebih.

Dengan demikian siapa saja yang mencari kebenaran tak dapat mengabaikan pandangan-pandangan baru dan berani, tetapi belum dibuktikan hanya karena tidak cocok dengan pola pemikirannya atau kepercayaannya. Oleh karena seratus tahun yang lalu tak ada persoalan perjalanan ke ruang angkasa, para ayah dan kakek kita tak pernah memikirkan dengan sungguh-sungguh apakah nenek moyang kita dahulu pernah mendapat kunjungan dari angkasa luar.

Mari kita berspekulasi dengan gagasan, misalkan peradaban kita sekarang ini suatu waktu dihancurkan oleh suatu peperangan bom hidrogen. Peperangan ini memang mengerikan tetapi kemungkinan terjadinya selalu ada. Lima ribu tahun kemudian para arkeologis akan menemukan pecahan pecahan dari Patung Kemerdekaan di New York. Menurut jalan pikiran kita sekarang, para arkeologis itu harus menentukan bahwa mereka menghadapi persoalan ketuhanan; barangkali dewa api (karena diannya) atau dewa matahari (karena pancaran sinar di sekeliling kepala patung itu). Mereka tak akan berani mengatakan bahwa patung itu sematamata hasil karya manusia belaka yakni patung kemerdekaan.

Sekarang sudah tidak mungkin lagi untuk menutup jalan ke masa silam dengan dogma-dogma. Kalau kita ingin menuju penyelidikan untuk mencari kebenaran, kita harus mempunyai keberanian untuk meninggalkan garis cara berpikir yang kita ikuti sampai sekarang, dan sebagai langkah pertamanya kita harus berani meragukan segala apa yang sebelumnya telah kita anggap benar. Apakah kita masih dapat menutup mata dan telinga karena gagasan-gagasan baru dianggap bertentangan atau menggelikan? Bagaimanapun juga lima puluh tahun yang lalu, pendaratan manusia dipermukaan bulan adalah menggelikan.

Sumber : Chariots of the Gods by Erich von Daniken

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

UFO Photo Archive

Guestbook (Buku Tamu) :